Nafkahi Keluarga dari Tip Hostes Kelab Malam Ancol
Tekanan ekonomi membuat pernikahan dini Sumiarsih gagal total. Dia lalu memutuskan merantau ke Jakarta. Berikut lanjutan penuturan langsung wanita yang meninggal akibat dieksekusi mati itu kepada ITA SITI NASYIAH.
-----
COWOK yang apel ke rumahku kian banyak. Ibarat bunga, aku sedang mekar-mekarnya. Pemuda yang naksir tidak terbatas di kampungku. Pemuda tetangga desa juga kerap main ke rumahku. Rata-rata mereka bermaksud menjadikanku sebagai pacar. Tidak itu saja. Kecantikanku membuat lelaki beristri ikut-ikutan "mengagumiku".
Di antara lelaki yang datang, ada satu yang menarik hatiku. Lelaki bernama Suwadi itu sangat perhatian terhadapku. Selain berbudi luhur, dia sabar dan ngemong. Kami pun lantas pacaran, meski sebentar. Oleh orang tuaku, kami kemudian dinikahkan. Tepatnya, ketika usiaku menginjak 15 tahun pada 1963. Setahun kemudian, anak kami lahir dan diberi nama Sugeng (bersama Sumiarsih ikut dieksekusi di depan regu tembak pada 19 Juli 2008).
Anak lelaki pertama yang lahir 15 September 1964 itu berwajah ganteng. Kulitnya kuning, hidungnya mancung, dan rambutnya ikal. Kegantengan Sugeng mungkin mewarisi wajahku dan wajah Suwadi kali ya, he he he.
Meski sudah menikah dan punya anak, aku ingin merasakan dapat uang sendiri. Satu-satunya cara ya dengan bekerja. Sayang, keinginanku itu ditentang oleh Mas Wadi, suamiku. Katanya, cukup lelaki saja yang mencari uang.
Aku iri melihat teman-teman sebayaku pulang kampung saat Lebaran. Pakaiannya bagus-bagus. Perhiasan emasnya kemeroncong. Mereka selalu pulang membawa roti kaleng Khong Guan dan minuman sirup jeruk Orson. Melihat pemandangan seperti itu, hatiku makin sakit. Kenapa mereka bisa, aku tidak. Padahal, wajah mereka tidak secantik wajahku. Kalau saja aku bisa ke kota, pastilah lebih banyak uang kubawa.
Besarnya keinginan untuk punya penghasilan sendiri itulah yang menjadikan rumah tanggaku goyah. Mas Wadi yang hanya bekerja serabutan tidak mampu menaikkan kondisi ekonomi sehingga kami sering cekcok. Singkat cerita, kami pun berpisah. Sugeng yang belum berumur 40 hari kutitipkan kepada emakku di desa. Aku nekat mengadu nasib ke Jakarta.
Sejak berangkat dari Stasiun Jombang aku bersumpah anak dan adik-adikku harus hidup sejajar dengan warga kampung yang lain. Mereka harus jadi orang besar. Punya cita-cita. Punya harapan. Bisa sekolah tinggi seperti anak Pak Lurah.
***
Pepatah yang mengatakan kejamnya ibu tiri tidak sekejam ibu kota bukan sekadar pepatah belaka. Di sana aku hidup sebatang kara. Hidup di kota besar seperti Jakarta itu ternyata tidak mudah. Tak seperti saat tinggal di kampungku di Jombang, semua diukur pakai uang. Jangankan untuk makan, kencing pun harus pakai uang, apalagi mandi. Ini yang membuatku menangis setiap malam.
Aku bisa bekerja di sebuah warung makan. Warung tegal pinggir jalan milik Koh Liem. Warung yang tidak seberapa luas itu menyediakan berbagai macam masakan Jawa. Ada pecel, sup, sayur asem, hingga lodeh. Warung nasi yang tak jauh dari Terminal Pulo Gadung itu sebenarnya sudah punya tiga pegawai. Aku bisa dipekerjakan setelah satu pegawai bagian cuci piring tidak kembali karena menikah.
Di warung itulah aku mengenal banyak lelaki. Mulai sopir, kernet, makelar tiket, hingga penyemir sepatu di Terminal Pulo Gadung. Karena kecantikanku, warung milik Koh Liem, laris manis. Banyak pelanggan yang tak segan memberiku tip. Awalnya, pemberian itu kutolak halus. Aku tidak biasa menerima uang tanpa harus bekerja lebih dulu. Tapi, karena majikanku mengizinkan, akhirnya tip itu kuambil juga. Tip dan gaji yang tidak seberapa itulah yang rutin kukirimkan ke kampung.
Di warung itulah aku berkenalan dengan Hendrik. Lelaki dari seberang itu mengatakan akan mencarikanku pekerjaan lain. Menurut Hendrik, kerja di warung tak akan bisa membuatku kaya. "Lho, kan cantik, kerja di tempat lain aja yang gajinya lebih tinggi," ajaknya.
Suatu hari Hendrik mengantarku ke klub hiburan malam di daerah Ancol. Restorannya memang besar. Tempatnya bagus. Tapi, kalau siang, sepi. "Iki jane ngono nggone opo? (Ini tempat apa ya sebetulnya)," kataku kepada Hendrik.
Manajer di sana mengamatiku cukup lama. Aku akhirnya diterima tanpa ditanya tentang ijazah. Tugasku mengantar minuman dan makanan kecil pesanan para tamu. Kerjanya malam hari. Jam pitu bengi sampek jam telu parak isuk (Pukul tujuh malam hingga tiga dini hari). Aku mau karena bayarannya tiga kali lipat dibanding kerja di warung.
Bapak manajer memberiku seragam. Rok mini ketat dan atasan putih. Aku terkaget-kaget ketika bekerja. Banyak wanita cantik berlalu lalang. Mereka hanya duduk-duduk di kamar ruang tertutup. Tidak sedikit yang sambil merokok. Aku bertanya ke Hendrik, apa pekerjaan wanita-wanita itu? Kata Hendrik, mereka itu hostes.
Meski hanya pelayan (waiters), aku dapat imbalan cukup tinggi. Tip yang kuterima dari tamu lebih besar daripada bayaranku sebulan. Bulan pertama aku mendapatkan Rp 41 ribu dari tip saja, sedangkan gajiku Rp 30 ribu. Ceperan dari pengunjung itu kubelikan alat-alat make up. Ya gincu, pemoles pipi, sampai eye shadow. Pokoknya komplet. Hanya dalam setahun, manajer dan mami tempatku bekerja menaikkan pangkatku menjadi hostes. Aku
ikut-ikutan "mejeng" di ruang kaca agar bisa dipilih tamu.
Kali pertama yang aku lakukan adalah memotong rambut model agogo ala Marilyn Monroe yang saat itu tren. Aku memang mengagumi artis Hollywood itu. Sebagai hostes, aku harus tampil seksi. Aku pakai rok superpendek dan sepatu hak tinggi yang warnanya sesuai baju. Tapi, biasanya aku pakai baju hitam. Supaya kontras dengan kulitku yang kuning langsat.
Tip yang kuterima dari tamu makin banyak. Mulai Rp 1.000 hingga Rp 10 ribu. Cukup besar untuk ukuran waktu itu. Tamu-tamu yang nakal memberi tip dengan menyelipkannya di sela-sela payudara. Kadang ada yang di sela celana dalamku. Aku senang jika tamuku mabuk. Tipnya makin banyak.
Atas saran Mami, nama Sumiasih yang terdengar kampungan diganti nama lain. Aku memang suka mawar, maka aku senang saat Mami memberi nama Rose. Aku ingin bunga mawar seharum namaku di dunia malam. Pelangganku kalangan menangah ke atas. Ada pengusaha, pegawai, ABRI (tentara), dan tidak sedikit yang jadi pejabat.
Empat tahun menetap di Jakarta, aku pulang ke desa di Ploso, Jombang. Tepatnya saat Lebaran. Kali ini aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Di depan warga desa, aku tampil habis. Semua yang kumiliki kupamerkan. Apalagi, aku mudik membawa mobil. "Dadi opo kowe nang Jakarta, Sih," tanya tetangga sambil melihat-lihat perhiasan emas yang kukenakan.
Adik perempuanku, Patemi dan Parmi, kubelikan oleh-oleh anting, gelang, kalung, emas lengkap dengan baju model terbaru dari Jakarta. Tiga adik laki-lakiku, Sugito, Parjan, dan Parno, kubelikan sepeda mini (sepeda tren saat itu) satu-satu, selain sepatu dan baju baru.
Emakku yang dulu selalu menangis menjelang Lebaran karena tidak punya uang, semringah melihatku pulang. Sebelum balik ke Jakarta, aku minta Emak menyekolahkan Sugeng (anaknya yang ditinggal di desa) dan lima adiknya. "Jangan takut masalah biaya, Mak. Nanti aku yang mengirimi setiap bulan," kataku.
Tekanan ekonomi membuat pernikahan dini Sumiarsih gagal total. Dia lalu memutuskan merantau ke Jakarta. Berikut lanjutan penuturan langsung wanita yang meninggal akibat dieksekusi mati itu kepada ITA SITI NASYIAH.
-----
COWOK yang apel ke rumahku kian banyak. Ibarat bunga, aku sedang mekar-mekarnya. Pemuda yang naksir tidak terbatas di kampungku. Pemuda tetangga desa juga kerap main ke rumahku. Rata-rata mereka bermaksud menjadikanku sebagai pacar. Tidak itu saja. Kecantikanku membuat lelaki beristri ikut-ikutan "mengagumiku".
Di antara lelaki yang datang, ada satu yang menarik hatiku. Lelaki bernama Suwadi itu sangat perhatian terhadapku. Selain berbudi luhur, dia sabar dan ngemong. Kami pun lantas pacaran, meski sebentar. Oleh orang tuaku, kami kemudian dinikahkan. Tepatnya, ketika usiaku menginjak 15 tahun pada 1963. Setahun kemudian, anak kami lahir dan diberi nama Sugeng (bersama Sumiarsih ikut dieksekusi di depan regu tembak pada 19 Juli 2008).
Anak lelaki pertama yang lahir 15 September 1964 itu berwajah ganteng. Kulitnya kuning, hidungnya mancung, dan rambutnya ikal. Kegantengan Sugeng mungkin mewarisi wajahku dan wajah Suwadi kali ya, he he he.
Meski sudah menikah dan punya anak, aku ingin merasakan dapat uang sendiri. Satu-satunya cara ya dengan bekerja. Sayang, keinginanku itu ditentang oleh Mas Wadi, suamiku. Katanya, cukup lelaki saja yang mencari uang.
Aku iri melihat teman-teman sebayaku pulang kampung saat Lebaran. Pakaiannya bagus-bagus. Perhiasan emasnya kemeroncong. Mereka selalu pulang membawa roti kaleng Khong Guan dan minuman sirup jeruk Orson. Melihat pemandangan seperti itu, hatiku makin sakit. Kenapa mereka bisa, aku tidak. Padahal, wajah mereka tidak secantik wajahku. Kalau saja aku bisa ke kota, pastilah lebih banyak uang kubawa.
Besarnya keinginan untuk punya penghasilan sendiri itulah yang menjadikan rumah tanggaku goyah. Mas Wadi yang hanya bekerja serabutan tidak mampu menaikkan kondisi ekonomi sehingga kami sering cekcok. Singkat cerita, kami pun berpisah. Sugeng yang belum berumur 40 hari kutitipkan kepada emakku di desa. Aku nekat mengadu nasib ke Jakarta.
Sejak berangkat dari Stasiun Jombang aku bersumpah anak dan adik-adikku harus hidup sejajar dengan warga kampung yang lain. Mereka harus jadi orang besar. Punya cita-cita. Punya harapan. Bisa sekolah tinggi seperti anak Pak Lurah.
***
Pepatah yang mengatakan kejamnya ibu tiri tidak sekejam ibu kota bukan sekadar pepatah belaka. Di sana aku hidup sebatang kara. Hidup di kota besar seperti Jakarta itu ternyata tidak mudah. Tak seperti saat tinggal di kampungku di Jombang, semua diukur pakai uang. Jangankan untuk makan, kencing pun harus pakai uang, apalagi mandi. Ini yang membuatku menangis setiap malam.
Aku bisa bekerja di sebuah warung makan. Warung tegal pinggir jalan milik Koh Liem. Warung yang tidak seberapa luas itu menyediakan berbagai macam masakan Jawa. Ada pecel, sup, sayur asem, hingga lodeh. Warung nasi yang tak jauh dari Terminal Pulo Gadung itu sebenarnya sudah punya tiga pegawai. Aku bisa dipekerjakan setelah satu pegawai bagian cuci piring tidak kembali karena menikah.
Di warung itulah aku mengenal banyak lelaki. Mulai sopir, kernet, makelar tiket, hingga penyemir sepatu di Terminal Pulo Gadung. Karena kecantikanku, warung milik Koh Liem, laris manis. Banyak pelanggan yang tak segan memberiku tip. Awalnya, pemberian itu kutolak halus. Aku tidak biasa menerima uang tanpa harus bekerja lebih dulu. Tapi, karena majikanku mengizinkan, akhirnya tip itu kuambil juga. Tip dan gaji yang tidak seberapa itulah yang rutin kukirimkan ke kampung.
Di warung itulah aku berkenalan dengan Hendrik. Lelaki dari seberang itu mengatakan akan mencarikanku pekerjaan lain. Menurut Hendrik, kerja di warung tak akan bisa membuatku kaya. "Lho, kan cantik, kerja di tempat lain aja yang gajinya lebih tinggi," ajaknya.
Suatu hari Hendrik mengantarku ke klub hiburan malam di daerah Ancol. Restorannya memang besar. Tempatnya bagus. Tapi, kalau siang, sepi. "Iki jane ngono nggone opo? (Ini tempat apa ya sebetulnya)," kataku kepada Hendrik.
Manajer di sana mengamatiku cukup lama. Aku akhirnya diterima tanpa ditanya tentang ijazah. Tugasku mengantar minuman dan makanan kecil pesanan para tamu. Kerjanya malam hari. Jam pitu bengi sampek jam telu parak isuk (Pukul tujuh malam hingga tiga dini hari). Aku mau karena bayarannya tiga kali lipat dibanding kerja di warung.
Bapak manajer memberiku seragam. Rok mini ketat dan atasan putih. Aku terkaget-kaget ketika bekerja. Banyak wanita cantik berlalu lalang. Mereka hanya duduk-duduk di kamar ruang tertutup. Tidak sedikit yang sambil merokok. Aku bertanya ke Hendrik, apa pekerjaan wanita-wanita itu? Kata Hendrik, mereka itu hostes.
Meski hanya pelayan (waiters), aku dapat imbalan cukup tinggi. Tip yang kuterima dari tamu lebih besar daripada bayaranku sebulan. Bulan pertama aku mendapatkan Rp 41 ribu dari tip saja, sedangkan gajiku Rp 30 ribu. Ceperan dari pengunjung itu kubelikan alat-alat make up. Ya gincu, pemoles pipi, sampai eye shadow. Pokoknya komplet. Hanya dalam setahun, manajer dan mami tempatku bekerja menaikkan pangkatku menjadi hostes. Aku
ikut-ikutan "mejeng" di ruang kaca agar bisa dipilih tamu.
Kali pertama yang aku lakukan adalah memotong rambut model agogo ala Marilyn Monroe yang saat itu tren. Aku memang mengagumi artis Hollywood itu. Sebagai hostes, aku harus tampil seksi. Aku pakai rok superpendek dan sepatu hak tinggi yang warnanya sesuai baju. Tapi, biasanya aku pakai baju hitam. Supaya kontras dengan kulitku yang kuning langsat.
Tip yang kuterima dari tamu makin banyak. Mulai Rp 1.000 hingga Rp 10 ribu. Cukup besar untuk ukuran waktu itu. Tamu-tamu yang nakal memberi tip dengan menyelipkannya di sela-sela payudara. Kadang ada yang di sela celana dalamku. Aku senang jika tamuku mabuk. Tipnya makin banyak.
Atas saran Mami, nama Sumiasih yang terdengar kampungan diganti nama lain. Aku memang suka mawar, maka aku senang saat Mami memberi nama Rose. Aku ingin bunga mawar seharum namaku di dunia malam. Pelangganku kalangan menangah ke atas. Ada pengusaha, pegawai, ABRI (tentara), dan tidak sedikit yang jadi pejabat.
Empat tahun menetap di Jakarta, aku pulang ke desa di Ploso, Jombang. Tepatnya saat Lebaran. Kali ini aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Di depan warga desa, aku tampil habis. Semua yang kumiliki kupamerkan. Apalagi, aku mudik membawa mobil. "Dadi opo kowe nang Jakarta, Sih," tanya tetangga sambil melihat-lihat perhiasan emas yang kukenakan.
Adik perempuanku, Patemi dan Parmi, kubelikan oleh-oleh anting, gelang, kalung, emas lengkap dengan baju model terbaru dari Jakarta. Tiga adik laki-lakiku, Sugito, Parjan, dan Parno, kubelikan sepeda mini (sepeda tren saat itu) satu-satu, selain sepatu dan baju baru.
Emakku yang dulu selalu menangis menjelang Lebaran karena tidak punya uang, semringah melihatku pulang. Sebelum balik ke Jakarta, aku minta Emak menyekolahkan Sugeng (anaknya yang ditinggal di desa) dan lima adiknya. "Jangan takut masalah biaya, Mak. Nanti aku yang mengirimi setiap bulan," kataku.
0 komentar:
Posting Komentar