Gadis Kecilyang Naksir Anak Pak Lurah
Sumiarsih dieksekusi bersama anaknya, Sugeng, di hadapan regu tembak dini hari kemarin. Otak pembunuhan berencana keluarga Letkol (Mar) Purwanto, 13 Agustus 1988, itu sosok kontroversial. Inilah penuturan ibu dua anak kelahiran Jombang, 28 September 1948, itu dalam buku Mami Rose yang ditulis ITA SITI NASYIAH.
NAMAKU Sumiasih (nama lahir, bukan Sumiarsih yang telanjur tercatat di BAP). Aku dilahirkan dari seorang wanita bernama Sumarsih dan lelaki bernama Kasan Rejo. Dua orang tuaku hidup di Ploso, Jombang, sebuah desa terpencil kala itu. Sebagai anak mbarep (sulung), aku dipanggil Yu Sih oleh kelima adikku, Patemi, Sugito, Parjam, Parmi, dan Parno.
Di antara saudaraku itu, kata orang, aku yang paling cantik. Kulitku kuning, rambutku ikal dan hitam, bibirku tipis, dan mataku meski tidak blolak-blolok (lebar) tapi mirip damar kanginan (berseri-seri). Pipiku ada lesung pipit dan bersemu kemerahan jika tersenyum. Melihat kemolekan wajahku, banyak yang terkagum-kagum.
Banyaknya orang berkata aku cantik menjadikanku kerap mematut diri. Berkaca pada cermin tua yang sudah retak. Benarkah aku ini cantik? Benarkah aku ini ayu? Seolah ingin meyakinkan diri, jika aku dianugerahi segudang anugerah Tuhan, beratus kali pula, aku mematut diri di depan cermin di kamar. Kacanya sebagian juga sudah buram dimakan usia. Nelangsanya lagi, cermin itu diperoleh Emak (Ibu) dari pemberian orang. Bentuknya tidak utuh. Pecahan persegi tiga.
Cermin yang diselipkan pada sambungan sesek (dinding bambu) rumahku itu dilengkapi sisir hitam dari bahan tanduk. Dua alat kecantikan itulah yang dipakai bareng-bareng, antara Emak, Bapak, aku, dan adik-adikku.
"Mak, bener to aku iki ayu?" tanyaku suatu ketika kepada emakku. Emak yang kumintai pendapat hanya senyum-senyum, sambil terus melipati pakaian yang habis dijemur. Tidak seberapa lama, aku mendengar namaku dipanggil oleh satu dari adikku. "Yu Sih, diceluk Yu Minuk, Yu Parti, lan Yu Tri, kae lho. Dienteni nang ngisor wit gayam (Mbak Sih, dipanggil Mbak Minuk, Mbak Parti, dan Mbak Tri, itu lho. Ditunggu di bawah pohon gayam)," panggil adikku, Patemi, setengah berteriak.
Di depanku sudah ramai terdengar teriakan dan nyanyian teman sebayaku. Mereka asyik memainkan dolanan kampung. Ada yang cublak-cublak suweng, jumpritan, dan jamuran. Sedangkan anak laki-laki, ada yang main patil lele, gundu, dan ada pula yang main karet serta adu jangkrik.
Teman lelakiku sering jowal-jawil padaku. Ada yang sekadar mencubit lenganku. Ada yang menarik-narik rambutku yang kerap dikucir ekor kuda emakku. Tidak jarang ada yang terang-terangan menggodaku. "Sih...Sih, kowe gelem karo aku?" kata mereka kepadaku.
Mendengar rayuan itu, aku hanya bisa mesam-mesem malu. Kata orang, jika aku tersenyum, pipiku bersemu merah. Seperti isi buah jambu di depan rumahku. Di antara semua teman lelaki yang kerap menggodaku, aku sempat tertarik dengan anak lurah di desaku. Sayangnya, anak lurah itu terlalu pendiam. Dia jarang main bersama kami. Aku pun hanya bisa mengagumi saja.
Perbedaan ekonomi yang sangat mencolok menjadikan aku tak berani macam-macam. Jangankan untuk naksir-naksiran, untuk mengakui kagum kepada anak Pak Lurah saja hanya bisa kusimpan sendiri. Aku paling suka jika disuruh emakku menjemput Dik Gito ke rumah Pak Lurah. Adik ketigaku itu, kalau main, suka lupa waktu. Bisa jadi karena rumah Pak Lurah besar dan bagus, hingga Dik Gito lebih kerasan daripada tinggal di rumahnya yang gedheg.
Keluarga Pak Lurah memang baik kepada keluarga kami. Aku kerap dimintai tolong Bu Lurah menata taman bunganya di halaman belakang rumah. Aku biasa diberi tugas mengambil air di sumur untuk menyirami mawar-mawarnya. Bunga yang jadi kegemaranku.
Ada sebuah kebiasaan di rumahku, setiap pulang dari mana aja, adik-adikku di rumah selalu menanti di depan pintu. Mereka duduk berjajar sambil selalu memandangi jalan yang kulewati."Yu, nggowo opo? (Kak, membawa apa)," tanya adik kelimaku, Parmi. Yang lain, seperti Parjan dan Parno, ikut-ikutan merubung minta bagian. Aku senang jika adik-adikku riang seperti itu. Patemi, Sugito, Parjan, Parmi, dan Parno dulu-duluan menghabiskan oleh-oleh yang kubawa. Kendati sebetulnya perutku lapar dan ingin incip-incip, melihat lahapnya cara adikku makan, kutahan saja keinginanku.
Tergoda Ingin ke Kota
Seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai tumbuh menjadi remaja putri. Aku menjadi kembang desa yang cantik. Tapi, kecantikan paras wajahku bertolak-belakang dengan ekonomi keluarga. Kehidupan ekonomi keluargaku sangat memprihatinkan. Bapak dan Ibuku hanyalah orang kampung biasa. Untuk makan sehari-hari, Bapakku harus banting tulang, menjadi buruh tani di sawah orang lain. Sedangkan Emakku hanya ngopeni anak-anaknya di rumah.
Jika musim panen tiba, selain aku, Emak juga ikut-ikutan terjun di sawah. Pikir kami, mumpung ada pekerjaan. Inilah saatnya kami mengumpulkan sedikit uang untuk biaya hidup. Kami pun bahu-membahu di sawah orang. Sayangnya, kendati sudah kerja keras, roda ekonomi keluargaku tak juga berputar ke atas. Kemiskinan tetap melekat dalam kehidupan sehari-hariku. Kemelaratan dan kenistaan mendera hidup kami. Hidup keluarga miskin yang ada di sebuah desa terpencil di Jombang kala itu.
Siapa sih yang tidak ingin hidup makmur seperti anak Pak Lurah? Punya rumah gedhong. Punya sepeda. Bajunya bagus dan makannya selalu nasi putih. Sedangkan keluargaku? Sehari-hari, tiwul dan singkong yang bisa kami santap. Lauk paling enak dan bisa kami jangkau hanyalah tempe goreng. Ya, tempe menu sangat istimewa. Tidak jarang kami makan dengan tiwul dan kelapa parut. Kendati demikian, kami berdelapan menerima keadaan dengan lapang dada. Kami tidak menyangka bahwa kondisi itulah yang mementaskan perjalanan kedewasaanku. Memang, kemiskinan kami merupakan kemiskinan yang termiskin.
Kami baru makan nasi kalau pas musim panen atau Ramadan tiba. Yang paling membuat kami bersuka, jika ada we-we (syukuran atau bancakan nasi dan lauk yang dikirimkan orang mampu pada malam ganjil ataupun menjelang Lebaran). Selain nasi putih atau nasi kuning, menu we-we dilengkapi sayur tempe dimasak dengan santan serta ikan ayam dibumbu. Aku yang paling besar selalu kebagian yang mengalah. Aku biasanya kebagian sak emplokan (sesuap). Meski lagi-lagi harus menelan ludah karena kurang, bagian sak emplok itu sudah cukup mengenyangkan perutku.
Suatu kali Emakku pergi ke rumah tetangga, meminjam uang karena sebentar lagi Lebaran. Rencananya, uang itu digunakan untuk membelikan baju kami, anak-anaknya. Entah ke mana saja tujuan Emak pergi. Pastinya, karena cukup lama, adik-adikku sampai ketiduran di amben (ranjang) bambu bikinan Bapak. Amben dengan alas tikar yang sudah robek sana sini menjadi tempat tidur sehari-hari dua adik lanang (lelaki)-ku, Parjan dan Sugito.
Dua adik perempuanku, Patemi dan Parmi, serta adik bungsuku, Parno, tidur bersamaku di dalam kamar. Akan halnya adik lanang-ku, tempat tidur kami juga terbuat dari bayang (ranjang bambu) bikinan Bapak sendiri. Jadi, baik anak laki maupun perempuan tidur ngruntel (berdesakan). Anak lelaki dengan Bapak, sedangkan anak perempuan dengan Emak sambil ngeloni Parno.
Yang tak bisa kulupakan, tempat tidur merangkap ruang tamu berbau pesing. Maklumlah, adik lelakiku masih sering ngompol. Jadi, meski kujemur setiap hari, karena tiap hari diompoli, tikar pandan yang menjadi alas tidur kami tetap saja mengeluarkan aroma tak sedap. Pesing dan lengur. Bau dan basah itulah yang membuat tikar tidur kami diwarnai tinggi (kutu busuk). Itu lho, hewan kecil hitam yang kerap mengisap darah. Baunya busuk jika digintes.
Pukul 21.00 WIB, Emak baru pulang ke rumah. Padahal, berangkatnya ba’da (setelah) asar. Tidak seperti keberangkatannya, wajah Emak kali ini muram. Matanya sembab habis menangis. Ketika kutanya mengapa, Emak diam saja. Tak ada kata yang keluar dari mulut mungilnya. Karena penasaran, kudesak terus Emakku. Wanita yang terlihat lebih tua daripada usianya itu hanya berkata pendek. "Ora opo-opo, Nduk. Ora opo-opo," katanya mengelak. Sambil berkata demikian, tubuhnya membelakangiku.
Meski Emak tak mau berterus terang, hati kecilku mengatakan, Emak tak dapat pinjaman uang. Buktinya, Emak tak lagi membahas akan membelikan baju baru buat Lebaran kami. Yang dilakukan malah naik ke tempat tidur dan berbaring di sisi adikku, Parno. Tidurnya miring. Aku tahu, Emakku bersedih. Aku tahu, Emakku habis menangis. Tapi, aku bisa apa? Duh Gusti, sampai kapan kemelaratan ini Kau beri? Sampai kapan kemiskinan ini Kau ujikan? Sampai kapan, Tuhan?
Malam itu aku tak bisa tidur. Aku menggugat ketidakadilan Tuhan yang diberikan kepada keluarga kami. Kami sudah bekerja keras. Kami sudah berusaha. Kami juga bukan orang malas. Tapi, kapan hidup kami berubah? Aku, si gadis cantik ini, menjadi amat dendam kepada kemelaratan. Kemelaratan inilah yang membuatku tidak berani berangan-angan. Apalagi, cita-cita. Aku takut kecewa! Bagiku, bisa baca dan tulis sudahlah cukup. Tidak perlu harus sampai lulus SD. Masih ada 5 adikku yang butuh biaya. Butuh sekolah. Sementara di kampungku, setiap anak yang sudah berusia 11 tahun biasanya pergi merantau. Mencari kerja ke kota besar. Surabaya dan Jakarta, merupakan kota jujukan bagi remaja Jombang. Pekerjaan yang tersedia tak bisa bervariasi. Kalau bukan babu, ya penjaga warung. Itu karena pendidikan kami rata-rata sangat rendah. Tapi, aku juga dapat kabar, gadis-gadis yang punya paras cantik lebih gampang dapat kerja. Bagi yang cantik dan apalagi bisa baca, pekerjaan yang tersedia di kota bisa saja tambah satu: penjaga toko orang China.
Pekerjaan itulah yang kuincar. Pikirku, meski tidak punya ijazah, aku bisa hitung-hitungan. Aku bukan gadis bodoh. Kalau saja aku bisa sekolah terus, pastilah aku mampu bersaing dengan anak-anak pintar lainnya. Aku punya keyakinan seperti itu. Begitu juga kalau harus ikut menjaga warung. Aku bisa masak karena terbiasa membantu Emak di dapur. Cuma, siapa yang mau memberikan pekerjaan? Siapa yang akan mengantarkanku ke kota? Untuk sampai ke Surabaya saja dibutuhkan waktu kira-kira 3-4 jam naik kendaraan umum. Itu pun harus berjalan kaki dulu ke kota. Jika mikir itu, puyeng kepalaku! Untuk itu, aku tak berani berpikir yang aneh-aneh. Takut kecewa. Takut gagal. Besarnya keinginan, ditambah tidak adanya biaya, menjadikanku murung. Untuk minta duwit kepada orang tua, tidaklah mungkin. Sementara waktu kulupakanlah keinginanku bekerja.
0 komentar:
Posting Komentar