Delapan Tahun Bersama Sumiarsih
Penulis: Ita Siti Nasyi'ah
Penerbit: JP Books Surabaya
Cetakan: I, Juli 2008
Tebal: ix + 180 Halaman
---
SEANDAINYA makanan, buku ini benar-benar fresh from the oven alias baru saja matang. Disajikannya masih hangat, uapnya masih kemebul. Ada bagian yang terasa kemripik, renyah; ada pula yang rasanya empuk kempus-kempus. Benar-benar mak nyuss!Ada dua hal yang membuat karya Ita Siti Nasyi'ah itu terasa baru. Yang pertama, tentu saja, jadwal penerbitannya. Hingga pagi ini, buku Mami Rose; Jual Diri, ke Mucikari sampai Eksekusi Mati ini belum genap seminggu dipasarkan secara luas. Bahkan, bisa jadi, belum semua toko buku menjualnya.
Yang kedua, buku ini terasa baru lantaran sangat terkait dengan peristiwa besar yang baru saja menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Yaitu, pelaksanaan eksekusi Sumiarsih dan Sugeng pada Sabtu (19/7) dini hari lalu. Dua terpidana mati pelaku pembunuhan berencana terhadap keluarga Letkol (Mar) Purwanto itu harus menghadap regu tembak setelah 20 tahun menunggu peluru.
Artinya, buku Ita ini memang punya momen yang sangat pas. Betapa tidak, ilham penerbitannya benar-benar muncul secara nyata pada 10 Juni 2008, saat grasi Sumiarsih dan Sugeng ditolak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ita lalu mendapat izin tertulis (tentang penerbitan kisahnya itu) dari Sumiarsih pada 11 Juli 2008. Foto cover buku dijepret pada Kamis (17/7), Sabtunya (19/7) Sumiarsih dan Sugeng didor. Dan, pada Senin (21/7), buku setebal 180 halaman itu sudah selesai dicetak. Benar-benar baru, benar-benar kilat! Tak cuma fresh from the oven tapi fresh from the microwave!
Secara teori jurnalistik, dunia yang dilakoni Ita selama lebih dari 15 tahun, buku ini punya peg (pasak) peristiwa yang kuat. Dalam bahasa sehari-hari para wartawan Surabaya, karya ini onok cantolane (ada kaitan) kejadian yang hangat.
Sebagai wartawan (dari Jawa Pos ke Kartini, Red), Ita tampak memperhitungkan news value (nilai berita) ketika menulis kisah hidup Sumiarsih alias Mami Rose itu. Sebab, buku ini punya magnitude (daya tarik dan gaung yang besar) sebuah peristiwa. Buku tersebut juga punya human interest (sisi kemanusiaan) yang apik, prominence (kedekatan dengan pembaca), timeliness (ketepatan waktu), bahkan tetap aktual.
Ya, meskipun yang disajikan adalah fakta yang sudah berlalu selama lebih dari dua dekade, buku yang diberi kata pengantar CEO/Chairman Jawa Pos Dahlan Iskan tersebut rasanya masih aktual. Ita juga berani memaparkan fakta-fakta baru (versi Sumiarsih) yang sebelumnya tak terungkap di media, bahkan di persidangan sekalipun. Ibarat koki, lulusan Stikosa-AWS itu tak cuma memasukkan makanan dingin ke microwave agar bisa kembali hangat dalam waktu singkat. Tapi, dia juga menambahinya dengan bumbu-bumbu segar, sehingga makanan itu bisa kembali panas plus rasanya baru.
Bumbu baru itu memang sangat perlu. Sebab, pembunuhan keluarga Purwanto terjadi pada 1988. Sebagian besar orang sudah lupa kasus itu. Bahkan, ada generasi yang benar-benar tidak tahu soal kasus pembunuhan yang menggemparkan tersebut. Begitu lamanya kasus itu sehingga Sumiarsih yang menunggu hukuman selama 20 tahun pun menjadi sosok legendaris di Lapas Wanita Malang. Setiap ada napi baru masuk, mereka selalu dikenalkan kepada Sumiarsih, wanita pelaku pembunuhan berencana yang sedang menunggu hukuman mati.
Beberapa bumbu penting dalam buku ini adalah penggambaran sosok Purwanto, korban kekejian Sumiarsih cs, plus latar belakang pembantaian keluarga yang menghebohkan itu. Selama ini, lewat berita-berita di media massa, Sumiarsih dikesankan sebagai sosok yang begitu keji, tak berperikemanusiaan, bahkan tak layak hidup.
Arsip koran dua dekade silam juga memosisikan Sumiarsih sebagai otak pembunuhan itu, sebagai public enemy yang tak layak dimaafkan. Sumiarsih begitu tega mencabut nyawa Purwanto, seorang perwira Angkatan Laut yang terhormat, beserta keluarganya, serta menyusun skenario jahanam menghilangkan jejak dengan cara membakar mayat dan membuang para korbannya di jurang Songgoriti, Batu. Semua kebiadaban itu dilakukan ''hanya'' lantaran utang Rp 36 juta Sumiarsih kepada Purwanto. Karena itu, masyarakat pun bersorak gembira saat Sumiarsih, Djais Adi Prayitno (suami), Sugeng (anak), dan Adi Saputra (menantu) divonis mati. Vonis tersebut memang tak menghidupkan kembali nyawa keluarga Purwanto. Namun, kala itu, masyarakat puas lantaran putusan hakim dianggap memenuhi unsur keadilan.
Buku ini menjelaskan secara jelentreh awal mula tragedi memilukan tersebut. Penuturannya pun runtut mulai flash back seorang Sumiarsih muda yang menjadi kembang di desanya, Ploso, Jombang. Bak kisah klasik, kecantikan Sumiarsih ternyata tak membawanya menuju kebahagiaan. Justru, kecantikan yang dibelit kemiskinan itu ''menjerumuskan'' Sumiarsih dalam jurang kesengsaraan. Dia akhirnya menjalani hidup sebagai hostes (purel) kelab malam di Jakarta. Dalam perjalanannya, dia menjadi istri gelap seorang pengusaha. Dari hubungan itu lahirlah Rose Mey Wati, putri bungsu Sumiarsih yang mewarisi kecantikannya.
Langkah gelap Sumiarsih tak berhenti di situ. Dia lantas hijrah ke Surabaya dan mendirikan rumah bordil yang sangat laris di Gang Dolly. Dan, Purwanto, menurut versi Sumiarsih, menjadi salah satu pelanggan wisma itu. Bahkan Purwanto lalu tertarik mengajak Sumiarsih untuk berkongsi mengelola wisma esek-esek. Itulah awal petaka tersebut. Lantaran wisma sepi, Sumiarsih terlambat setor ke Purwanto. Dalam sekejap Sumiarsih terlilit utang yang terus beranak-pinak.
Kelanjutan kisah tersebut begitu mencengangkan, begitu kontroversial karena tak pernah terungkap ke permukaan sebelumnya. Dalam menagih utang, Purwanto ternyata berlaku bak preman. Sumiarsih tak cuma diancam, tapi juga dipukuli, disundut rokok, dan dihina harkat kewanitaannya. Yang membuat Sumiarsih akhirnya gelap mata dan hilang pikiran adalah niat Purwanto yang ingin ''mengambil'' salah satu harta terbesar Sumiarsih, yaitu Rose Mey Wati, putrinya yang cantik.
Fakta buku yang didapat dari delapan tahun (2000-2008) persabahatan Ita dan Sumiarsih itu memang tak hendak menyajikan alasan pembenar pembunuhan Purwanto. Bukan pula untuk memprovokasi pembaca agar bersimpati dan berempati kepada Sumiarsih. Yang terang, buku ini cukup berani menyajikan fakta yang tersembunyi selama dua dekade. Bahkan, dalam setiap sidang, Sumiarsih tak pernah menunjukkan fakta bahwa Purwanto telah menekan dan menganiayanya secara fisik maupun mental. Meskipun, itu bukan faktor pemaaf, saya pribadi yakin bila fakta-fakta itu terungkap dalam persidangan dulu, kemungkinan bisa meringankan hukuman Sumiarsih. Paling tidak, dia ''hanya'' dihukum 20 tahun atau seumur hidup.
Memang, karya Ita ini punya daya tarik yang kuat lantaran kepekaannya memanfaatkan momentum. Namun, dalam hal ini, momentum dan kesusu (tergesa-gesa) berada dalam batas yang amat tipis. Sebab, kesan kesusu tak bisa dihindari dalam buku ini. Salah satunya soal penyuntingan (editing) yang tak rapi. Ada begitu banyak kesalahan ejaan, tata kata dan kalimat yang serampangan, hingga gaya penceritaan orang pertama dan orang ketiga yang melompat-lompat. Sangat disayangkan memang, buku bagus ini diwarnai kesalahan-kesalahan yang tidak perlu (memangnya ada kesalahan yang perlu?).
Buku ini bisa tampil lebih cantik seandainya lebih diperkaya dengan foto-foto masa lalu Sumiarsih. Selain membuat buku lebih warna-warni, keragaman foto juga menunjukkan kedekatan dan eksklusivitas Ita dalam kehidupan Sumiarsih alias Mami Rose. (*)
---
Sumber : JawaPos.com
bro...harganya berapa ya??
BalasHapus