ini bukan tulisan saya, hanya ingin meneruskan.
:D
SURAT
TERBUKA UNTUK PAK BEYE
Pak Beye, tanggal 12 September 2013 kemarin
saya ikut dalam aksi buruh ke Kantor Walikota. Memang tidak sendirian, saya
datang bersama-sama dengan lebih dari 5 ribu buruh Batam. Saya dengar
ketika kami melakukan aksi, Anda sedang tidak berada di Indonesia. Tidak
apa-apa, saya tidak kecewa Anda tidak bisa menemui kami. Karena tohsaya percaya, diera keterbukaan informasi seperti
sekarang ini, Anda tetap bisa mendengar aspirasi yang kami suarakan.
Tuntutan kami sederhana, Pak. Hanya tiga. Tidak
banyak: Naikkan
upah buruh 50 persen, jalankan jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat per 1
Januari 2014, dan hapuskan outsourcing di perusahaan-perusahaan BUMN.
* * *
Jika harus jujur, saya kecewa dengan Anda, Pak. Kecewa
yang teramat sangat. Karena saya adalah salah satu orang yang memilih Anda
menjadi presiden, yang menaruh harapan besar kepada Anda untuk bisa
meningkatkan kesejahteraan rakyat di negeri yang dahulu dijuluki zamrud di
khatulistiwa ini. Tetapi apa yang terjadi? Harapan saya itu jauh panggang dari
api. Anda justru menerbitkan Inpres untuk mendukung berlakunya upah murah.
Oleh karena itu, dalam Pemilu 2014 nanti saya dan
kawan-kawan sudah sepakat tidak akan memilih Anda. Kami bahkan sudah menyiapkan
dari kawan-kawan kami sendiri yang sudah terbukti integritas dan
keberpihakannya kepada kaum buruh untuk kami pilih. Anda tahu alasannya, Pak?
Agar kebijakan Negara tidak terus-terusan menganggap kaum buruh hanya dengan
sebelah mata.
Tidak usah mengelak, Inpres itu terbit karena tekanan
dari Apindo kan, Pak?
Masih terekam jelas ketika Menko Perekonomian Hatta
Rajasa dan Memperin menggelar konferensi pers untuk mengumumkan rencana
penerbitan Inpres itu. Oh ya, ada satu lagi, saya tidak salah lihat dengan
orang ini. Ketua Apindo Sofyan Wanandi yang ikut serta dalam konferensi pers
yang disiarkan secara nasional oleh sebuah stasiun televisi itu.
Saya kira itu adalah hari paling buruk bagi buruh
Indonesia, Pak. Tak terbantahkan, sudah. Negara berada dibawah ketiak kaum
modal. Negara didikte oleh mereka. Karena pada kenyataannya, tidak ada satu pun
wakil dari buruh yang diajak ikut dalam konferensi pers, padahal isi dari
konferensi pers itu menyangkut hak yang paling hakiki dari buruh: upah.
* * *
Pak Beye,
Saya pernah membaca sebuah berita. Konon katanya,
total kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia tahun 2013 mencapai Rp. 1,100
Trilyun. Sementara jika kita bandingkan dengan pendapatan Negara tahun 2013
yang dipekirakan sebesar 1.502 trilyun, maka itu artinya, kekayaan 40 orang ini
lebih dari 70% dari total pendapatan negara.
Sekarang saya paham data itu artinya apa. Apakah
karena mereka kaya, sehingga bisa mengendalikan Negara? Sedangkan kami yang
miskin, tetap dimiskinkan agar dominasi mereka tetap terjaga? Bukankah setiap
warga Negara memiliki hak yang sama di Republik ini. Bahkan, darah kami sama
merahnya, Pak. Lalu mengapa mereka yang lebih diutamakan dan didengar suaranya?
Saya juga membaca data dari Independent Parliamentary
Standarts Authority (IPSA) dan IMF. Jika dibandingkan, jumlah gaji dalam
setahun dibagi pendapatan per kapita penduduk, maka besarnya gaji anggota DPR
adalah 18 kali pendapatan per kapita penduduk. Dengan demikian, besarnya gaji
DPR kita adalah terbesar nomor empat sejagat.
Data yang dihimpun dari sumber pemerintah, media dan
dana moneter internasional (IMF) itu, menyebutkan gaji Anda mencapai USD
124.171 atau sekitar Rp. 1.1 miliar per tahun. Artinya, gaji Anda mencapai 30
kali lipat dari pendapatan per kapita penduduk, dan itu adalah terbesar nomor 3
sedunia. Data itu beberapa tahun yang lalu. Sekarang, bahkan saya dengar, gaji
Anda sudah naik persen.
Saya ikut bangga, jika Indonesia mampu membayar gaji
aparatur Negara dengan sedemikian hebatnya. Jangan khawatir, pak. Saya nggak
akan minta. Itu sudah menjadi hak Anda. Satu saja yang masih tidak bisa saya
terima: Mengapa
Anda tega membatasi kenaikan gaji buruh hanya dikisaran inflansi?
Apakah adil, jika Anda bergaji nomor 3 terbesar
didunia, sementara gaji buruh Indonesia tidak lebih besar dari Philipina
(3.255.076), atau Thailand (2.818.409)? Bapak tahu, kan, di DKI Jakarta saja,
gaji kami hanya di angka Rp. 2.200.000,-. Itu di Jakarta, Pak. Bagaimana
dengan kawan-kawan kami yang berada diluar sana? Mereka hanya mendapatkan upah
dikisaran 1 juta, bahkan banyak yang dibawahnya!
Sementara saya juga mempunyai data, pendapatan bos-bos
perusahaan asing yang beroperasi di negeri ini bahkan mencapai ratusan juta.
Saya nggak pernah mimpi memiliki uang sebanyak itu, Pak, yang katanya nolnya
banyak, baris seperti tentara. Saya hanya minta keadilan, karena apa yang telah
mereka dapatkan ada keringat kami disitu.
Pak, mengapa jika Pengusaha yang meminta, dengan
gampangnya Anda memberikan persetujuan. Sedangkan jika kami, kaum buruh yang
meminta, selalu dibuat stigma: tidak
tahu diri, mengganggu iklim investasi, dan sebagainya.
Saya tahu, bukan Anda yang membuat stigma itu. Tetapi
jika Anda tidak responsif dengan mengeluarkan Inpres itu, setidaknya situasi
seperti ini tidak akan pernah terjadi.
* * *
Pak Beye,
Jika kami masih bisa hidup sampai hari ini, itu karena
kami tidak hidup selayaknya manusia yang memiliki pekerjaan. Jika kami tidak
bekerja dan miskin, itu wajar. Tetapi apakah wajar jika sudah puluhan tahun
kami bekerja, tetapi kehidupan kami tetap miskin.
Ada yang bilang: “Kalau nggak mau jadi buruh dengan gaji sebesar itu,
keluar aja dari perusahaan. Githu aja kok repot!”
Owh,
sudah ratusan kali kami mendengar kalimat seperti itu. Bahkan ada yang lebih
kasar.
Mereka kan hanya para penitip nasib sejati yang bermulut ember. Kami
bahkan masih ingat, ketika kami memperjuangkan agar kenaikan upah di tahun 2013
kemarin agar melebihi angka 2 juta, mereka juga mengatakan hal yang sama.
Ketika upah tembus 2,2 juta, tidak ada tuh yang bilang: Hei serikat buruh. Upah saya cukup 1,7 juta saja.
Sisanya buat Anda…
Mereka selalu begitu, sedari dulu. Satu contoh lagi,
misalnya, ketika kami berjuang agar 1 Mei menjadi hari libur nasional. Mereka
juga mencibir. Dan ketika saat ini 1 Mei sudah ditetapkan sebagai hari libur,
dengan tak tahu malu mereka ikut-ikutan ‘merayakannya’. Mereka lupa, bisa
bekerja 40 jam dalam seminggu atau 8 jam dalam sehari, adalah juga karena
perjuangan serikat pekerja.
Justru olok-olok mereka semakin membuat kami bersemangat untuk
membuktikannya.
Mereka lupa, sudah sering kami membuktikannya. Ketika
kami tidak setuju upah murah, kami keluar dari perusahaan-perusahaan dan
berbondong-bondong mengepung Istana Negara. Kami juga pernah meninggalkan
pekerjaan, melakukan mogok nasional. Oh ya, Pak, saya kasih bocoran kepada
Anda. Para pemimpin serikat buruh saat ini sedang mempersiapkan mogok nasional
jilid 2, jika Anda tidak segera mencabut Inpres tentang upah itu dan menyetujui
kenaikan upah sebesar 50 persen.
Jadi, kalau ada yang bilang: “Kalau nggak mau upah murah, keluar aja dari
perusahaan.”
Ya, kami pasti akan keluar dari pabrik-pabrik. Kami
geruduk Istana. Kami hentikan mesin-mesin, bergerak dan berjuang minta upah
yang lebih tinggi. Karena kami percaya, tidak akan ada perubahan terhadap suatu
kaum, jika kaum itu sendiri tidak merubahnya. Kami bukan penitip nasib, Pak.
Tetapi jika yang mereka maksud keluar dari perusahaan
adalah mengundurkan diri, agar kami melakukan PHK secara sukarela, kami anggap
orang yang mengatakan itu sudah sakit jiwa. Mengapa demikian?
Kalau begitu, Anda ingin upah buruh Indonesia tetap
murah?
Tega sekali kalian menyaksikan buruh-buruh Indonesia
dibayar murah, bertahun-tahun lamanya. Ingat, satu saat anak-anak Anda juga
akan memasuki dunia kerja. Kami hanya bisa berdo`a, semoga anak-anak itu kelak
tidak mewarisi sikap kalian yang hanya bisa tunduk mengangguk saat dihisap
tenaga dan pikirannya.
“Kalau buruh yang
hanya berpendidikan rendah minta 3,7 juta, lha kita-kita yang sarjana gajinya
harus berapa?”
Sebenarnya kami kasihan mendengar pernyataan
seperti ini, Pak. Seolah-olah gaji 3,7 juta sangat besar sekali, dan jika
itu disetujui langit akan runtuh esok hari. Padahal kenaikan 50 persen hanyalah
untuk mengembalikan daya beli akibat kenaikan BBM dan inflansi. Upah realnya
sendiri, sebenarnya, belum naik.
Owh,
sekarang kami menjadi paham. Jadi gaji buruh – yang tak mau disebut buruh – itu
juga masih jauh dibawah 3,7 itu? Kasihan sekali mereka, jika bisanya hanya
diam. Buat apa sekolah tinggi-tinggi jika masih dibayar murah? Bukankah akan
lebih baik bergabung saja dengan gerakan ini, toh jika
berhasil mereka akan menikmati yang lebih tinggi.
Banyak cerita dari kawan-kawan kami yang sudah puluhan
tahun bekerja. Mulanya perusahaannya biasa saja. Lalu membangun gedung baru.
Beberapa tahun kemudian membuka cabang baru. Karyawan yang tadinya berjumlah
puluhan kini menjadi ribuan. Si bos memiliki rumah diluar negeri, mobil mewah,
menyekolahkan anaknya di universitas terbaik, tetapi nasib buruhnya tak
membaik: tetap
saja dikisaran UMK.
Bertahun-tahun kami diupah murah, tetapi tidak ada
yang berbicara dan membela, agar jangan eksploitasi buruh-buruh di Indoensia.
Apakah hal seperti ini adil?
Saya kira Anda juga setuju. Ini tidak adil. Wakil
Gubernur DKI saja tahu kalau dengan gaji 2 juta tidak layak hidup di Jakarta.
Apalagi Anda, Presidennya.
Karena itu, demi Tuhan, cabut kembali Inpres yang
sudah Anda terbitkan, Pak Presiden. Karena itu melanggar konstitusi dan hanya
akan membangkitkan perlawanan bagi kaum buruh Indonesia. (*)
0 komentar:
Posting Komentar